Dari sekian informasi yang kita terima dari berbagai arah sering tidak bisa jadi ilmu yang manfaat, karena pikiran kita sibuk berprasangka. Dalam hidup ini, kita diajak belajar untuk menjadi ruang yang siap menerima, mengolah, sampai menyajikan apa yang tersirat dari yang tersurat, terasa dari yang teraba, sehingga keterbatasan tidak menjadi hambatan, kecuali jika ada kepicikan yang membelenggu, atau kesombongan yang membutakan.
Banyak politisi yang memiliki nama sangat “islami”, rajin umroh, rajin berkhotbah, dahinya hitam tanda lebih lama bersujud, bahkan ketika masih menjadi mahasiswa/ketika nyantri merupakan orang yang paling keras berteriak soal korupsi, namun ketika kini masuk lingkaran kekuasaan, mereka ternyata juga orang yang paling kuat menginjak amanah rakyat dan rajin mencuri dan merampok kekayaan negara. Fenomena apa ini?
Tuhan memang menyediakan kitab suci melalui rasulNya yang dapat digunakan sebagai petunjuk, namun agar petunjuk tersebut dapat diamalkan ke jalan yang diajarkan Tuhan, maka manusia diwajibkan menggunakan akal. Kalau kitab suci dapat “mengislamkan” seseorang secara otomatis, maka mestinya ketika kitab suci tersebut disodorkan kepada seekor binatang, maka binatang tersebut lantas “islam”. Namun kenyataan tersebut tidak terjadi. Dengan demikian, makin jelas bahwa akal yang menjadi “senjata” utama seseorang untuk menuju kualitas khalifah yang Islam. Kitab suci hanya menyediakan jalan dan resep, namun jika tidak ditangkap dan diolah oleh akal, maka kitab itu hanya menjadi benda mati. Karenanya Allah selalu menantang umatnya dengan kata-kata : “jika kamu sekalian mau berpikir”.
Realitas empiris dunia akan dapat didayagunakan ke jalan Allah jika manusia yang hadir disitu menggunakan akalnya untuk merekonstruksi kesadarannya, untuk mentransendir dunia obyektif ke arah yang ideal sesuai ajaran kitab suci. Jika manusia menafsirkan ayat-ayat dalam kitab suci karena digerakkan oleh nafsunya, dan bukan oleh akalnya, maka tafsiran itu paling jauh hanya berhenti untuk kepentingan simbol, kekuasaan, kebanggaan, kesalehan pribadi, dst.
Bangsa Indonesia tak lepas dari berbagai aspek sosial dan budaya karena itu adalah suatu bagian hidup dari bermasyarakat. Bangsa Indonesia mempunyai banyak perbedaan antara lain kultur, agama, adat-istiadat, ras, etnis dan bahasa. Keanekaragaman tersebut dapat menjadi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Itulah bentuk dari kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang juga mewarnai kehidupan bidang politik, ekonomi dan keamanan nasional. Selain itu banyak norma-norma dalam hidup bermasyarakat yang harus di taati sebagaimana yang tercantum pada sila-sila pancasila.
Bangsa Indonesia yang berbudaya Pancasila menciptakan suatu masyarakat yang demokratis yang dapat menghargai segala perbedaan yang dialami oleh setiap manusia. Dalam pembangunan dan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Terutama dalam rangka bangsa Indonesia melakukan reformasi di segala bidang dewasa ini.
Sebagai anti-klimaks proses reformasi dewasa ini sering kita saksikan adanya stagnasi nilai social budaya dalam masyarakat sehingga tidak mengherankan jikalau di berbagai wilayah Indonesia saat ini terjadi berbagai gejolak yang sangat memprihatinkan. antara lain, amuk massa yang cenderung anarkis, bentrok antara kelompok masyarakat bahkan didalam kelompok itu pun sendiri yang muaranya adalah masalah politik atau kepentingannya sendiri.
Oleh karena itu dalam pengembangan social budaya pada masa reformasi dewasa ini kita harus mengangkat nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar nilai yaitu nilai-nilai pancasila itu sendiri. Dalam prinsip etika pancasila pada hakikatnya bersifat humanistic, artinya nilai-nilai pancasila mendasarkan pada nilai yang bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya. kita sebagai manusia juga saling membutuhkan bantuan satu sama lain. Maka dari itu kita harus menjaga rasa solidaritas kita sesama makhluk ciptaan tuhan dengan “BERGOTONG ROYONG”.
Terakhir sebelum saya tutup tulisan ini, saya ingin sedikit mengeluarkan apa yang ada dalam isi kepala saya bahwa Organisasi bisa disebut kuat, karena sangat bergantung pada kehebatan para kader dan anggotanya. Dan salah satunya adalah adanya budaya dalam menentukan keputusan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar