Oleh: FRONT MAHASISWA NASIONAL (FMN) CABANG DENPASAR | Rabu, 22 Juli 2020. 22:00
EKONOMI-POLITIK GLOBAL DAN INDONESIA MASA KINI
Pada Oktober 2019, tepat dua bulan sebelum pandemi Covid-19 pertama kali merebak ke seluruh dunia, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yakni badan PBB yang menangani isu perdagangan, investasi, dan pembangunan dunia menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 merupakan yang terlemah sepanjang satu dekade. Kelajuan ekonomi global di tahun 2019 hanya melaju 2,3%, turun dari angka 3% di tahun sebelumnya. Penurunan ini tak lepas dari gejolak ekonomi-politik yang telah menorehkan luka bagi banyak negara di berbagai belahan dunia; perang dagang AS vs RRT, gejolak mata uang, sengketa kesepakatan Brexit, hingga termasuk kebijakan suku bunga jangka panjang yang terlalu memberatkan.
Dalam misi menyelamatkan ekonomi dunia—ya, dunia mereka sendiri, UNCTAD menghimbau Menteri Keuangan dan Bank Sentral seluruh dunia untuk mengakhiri obsesi terhadap harga-harga saham, laporan keuangan kuartalan, dan keyakinan terhadap investor. Selain itu, mereka juga diminta agar focus pada penciptaan lapangan kerja, peningkatan upah, dan investasi besar-besaran di negaranya. Secara teoritik, perlambatan ekonomi ini akan makin memburuk menjadi resesi apabila aktivitas ekonomi dalam suatu negara terus lesu, terutama pada: PDB, pendapatan, tingkat pengangguran, pertumbuhan manufaktur, dan penjualan retail.
Beberapa negara terbukti telah mengalami perlambatan ekonomi hingga hampir terjun ke dalam jurang resesi ekonomi. Seperti misalnya Singapura yang berhasil menahan laju perlambatan PDB pada angka 0,1% di kuartal II dan III. Begitu pula Jerman yang juga berhasil bertahan pada level 0,1% pada kuartal III, bangkit dari sebelumnya yang jatuh di angka minus 0,1% pada kuartal II.
Indonesia masih beruntung, pertumbuhan ekonomi disini masih tertahan di angka 5%, lebih baik dari negara-negara lain. Namun, pada saat yang sama Indonesia terancam mengalami deindustrialisasi premature, yakni penurunan angka pertumbuhan industri pokok jika dibandingkan dengan PDB. Hingga saat sebelum pandemi, angka pertumbuhan industri manufaktur Indonesia hanya sebesar 4,4%, sementara industri pengolahan lebih tragis dengan angka 3,8%. Jauh jika kita bermimpi bahwa Indonesia telah bangkit. Kita masih terpuruk, kita masih berdiri di pondasi yang rapuh.
Pemeritahan Jokowi berencana akan menaikkan angka PDB menjadi 7%. Dalam pidato pelantikannya pada Oktober 2019 lalu, Jokowi berencana akan membuat gebrakan kebijakan yang—baginya—akan membuat PDB Indonesia semakin membaik, yakni melalui skema investasi besar-besaran di dalam negeri. Dalam pidatonya juga, Jokowi hendak mengajak DPR untuk merumuskan UU besar yang nantinya mempermudah proses perizinan investor asing masuk ke Indonesia, yakni Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja atau yang kini berubah nama menjadi RUU Cipta Kerja, terlihat gahar namun terlalu berlebihan dan menyedihkan.
Dalam prosesnya, Omnibus Law Cipta Kerja sendiri akan merampingkan 82 UU yang terdiri dari 1.194 pasal dan 11 cluster hukum. Diantaranya yakni:
1) Peningkatan ekosistem investasi dan berusaha,
2) Ketenagakerjaan,
3) Kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMKM,
4) Kemudahan berusaha,
5) Dukungan riset dan inovasi,
6) Pengadaan lahan,
7) Kawasan ekonomi,
8) Investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional,
9) Pelaksanaan administrasi pemerintahan,
10) Pengenaan sanksi, dan
11) Penyederhanaan perizinan.
Melalui serangkaian peraturan yang komprehensif ini, pemerintah akan mempermudah investasi, hutang, dan insentif lainnya masuk secara besar-besaran di Indonesia. Inilah skema pasar bebas neoliberal yang tentunya akan melepaskan tanggung jawab pemerintah terhadap sektor-sektor publik yang seharusnya dilindungi, karena semuanya dibuka secara besar-besaran untuk dinikmati oleh arus modal luar negeri. Lalu apa yang akan terjadi? Penjarahan habis-habisan kekayaan dalam negeri.
Kini seluruh dunia sedang menghadapi hantu yang sama: krisis kesehatan dan ekonomi global sebagai dampak dari pandemi Covid-19 di seluruh negara di dunia. Banyak lembaga-lembaga dunia menaksir bahwa pertumbuhan ekonomi ekonomi global hanya akan bertahan di angka negatif hingga akhir tahun 2020, diikuti dengan tingkat kedalaman krisis yang juga tinggi. Krisis ini bahkan diprediksi akan menjadi yang terburuk setelah era Depresi Besar (1929-1939).
Karena globalisasi yang telah mempertautkan ekonomi dunia secara eksesif, maka sektor manufaktur global yang tertaut dalam mata rantai pasokan dunia akan menghentikan aktivitas produksinya. Bursa saham dan obligasi tertekan, arus investasi di seluruh dunia juga akan guncang. Jutaan pekerja dirumahkan, berhenti kontrak, atau PHK karena aktivitas produksi yang terhenti, sehingga terjadi penurunan permintaan pasar yang signifikan. Apa yang terjadi? Dunia berada di dalam gelap. Semua orang lapar, tapi tidak ada yang tahu harus makan apa.
Di Indonesia, pemerintahan kita hingga kini selalu menganggap remeh pandemi ini. Sejak awal konfirmasi pasien positif Covid-19 pada 2 Maret lalu, pemerintah justru menghabiskan dana Rp. 72 Milliar untuk membayar influencer mempromosikan pariwisata Indonesia, memiskinkan rakyat melalui rapid tes yang dikomersialisasi, membuat kalung anti virus Corona yang terkesan konyol bagi institusi sekelas negara, dan kini malah mengetuk palu program “New Normal” disaat angka pasien positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai lebih dari 70 ribu orang, dengan rekor penambahan 2 ribu pasien tiap hari, yang lagi-lagi tujuannya adalah melepaskan tanggung jawab negara dalam menanggung kebutuhan hidup rakyatnya dengan membiarkan rakyat menggerakkan roda ekonominya sendiri-sendiri.
PHK terjadi dimana-mana akibat banyaknya sektor produksi yang berhenti. Daya beli menurun, pasar ikut lesu. Bahkan, insentif fiscal yang telah dilakukan oleh pemerintah yang tidak diikuti oleh perbaikan suplai produksi secara baik diprediksi hanya akan menghasilkan inflasi. Sementara, “New Normal” hanyalah alat untuk mengelabui investor yang enggan menanamkan modal di Indonesia yang tidak becus menangani persebaran pandemi. Berdasarkan prediksi tim Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), nilai rupiah akan tembus pada angka Rp. 17.000 hingga Rp. 20.000 per dollar. Seluruh indikator pertumbuhan ekonomi sedang berada di posisi negatif, hancur total bagi beberapa daerah yang pemasukannya sangat bergantung dengan pariwisata internasional, seperti Bali misalnya.
Di sektor pendidikan, UKT mahasiswa nyaris ditelan mentah-mentah melalui kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Bagaimana tidak, UKT yang telah dibayar penuh untuk membiayai fasilitas kampus, malah tidak digunakan lagi dengan dalih pencegahan penularan wabah Covid-19 di kampus. Alih-alih memperoleh fasilitas penunjang yang lain, kampus justru membiarkan mahasiswanya menggunakan cadangan keuangannya sendiri untuk membeli paket internet agar dapat mengakses PJJ. Padahal, berdasarkan aturan dikti, UKT telah membiayai seluruh kegiatan akademik mahasiswa selama satu semester, baik biaya langsung maupun tidak langsung. Lalu, jika kampus tidak mampu memberi fasilitas penunjang selama PJJ berlangsung, kemanakah uang BOPTN dari pemerintah? Atau kemanakah uang UKT mahasiswa? Rakyat yang sudah dibiarkan menjamin kesehatannya sendiri, sudah dibiarkan menjalankan roda ekonominya sendiri di tengah pandemi, masih berusaha diperas lagi melalui lembaga pendidikan yang harganya masih selangit.
Mirisnya, beberapa kawan yang menyatakan keberatan dan berjuang menyuarakan aspirasinya secara demokratis kepada pihak kampus, malah direpresi, diintimidasi, hingga dikeluarkan dari kampus (DO). Seperti misalnya di kampus Universitas Nasional (UNAS), Jakarta. Rektorat UNAS memberikan sanksi kepada 10 mahasiswa yang melakukan demonstrasi menuntut penurunan angka nominal UKT ditengah pandemi dan krisis tak berkesudahan ini. Sebanyak 2 mahasiswa di DO (yakni Krisna Aji, ketua FMN Ranting UNAS, dan Deodatus, Pimpinan GMNI UNAS), 2 lainnya diskors selama satu semester, 6 sisanya mendapat peringatan keras disertai intimidasi.
Tangan besi pemerintahan rezim berkuasa ini membuktikan bahwa pendidikan kita sekarang benar-benar telah dikomersialisasi, pemerintah tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk melayani rakyatnya dalam menempuh pendidikan, hanya ada transaksi jual dan beli. Tanggung jawab pemerintah atas pembiayaan pendidikan semakin dikurangi, semakin dipersulit aksesnya. Sementara, pemerintah membuka pintu seluas-luasnya bagi investor-investor imperialis untuk turut campur dalam pendanaan lembaga pendidikan, melalui beragam skema proyek dan kerjasama.
Ini masih era pandemi, Omnibus Law Cipta Kerja bahkan masih belum disahkan. Dalam beberapa pasalnya, Omnibus Law Cipta Kerja hendak menghapuskan sistem akreditasi bagi perguruan tinggi, diganti menjadi Perizinan Berusaha. Pendidikan akan menjadi komoditi dagang yang akan dibuka seluas-luasnya untuk investor asing, karena Omnibus Law Cipta Kerja juga membebaskan peserta didik dan Perguruan Tinggi negara lain untuk masuk ke pasar pendidikan di Indonesia hanya melalui Perizinan Berusaha. Yang lebih lucu lagi, Omnibus Law Cipta Kerja membolehkan lembaga pendidikan tinggi untuk meraup laba. Termasuk di dalam skema “Kampus Merdeka” ala Mendikbud Nadiem Makarim, mahasiswa diwajibkan mengikuti magang selama 3 semester penuh di perusahaan-perusahaan milik imperialis.
Selama komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan masih berlangsung, tidak akan ada pendidikan yang demokratis, ilmiah, dan mengabdi kepada rakyat di Indonesia. Semuanya hanyalah mesin perah bagi para imperialis yang kebijakannya diatur oleh kapitalis birokrat sebagai kaki tangannya. Tujuannya apa? Ya memupuk kekayaan.
Salam Demokrasi! ✊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar